ZMedia Purwodadi

Kenapa 'Anak Kripto' Sering Dipandang Negatif? Ini Alasannya

Table of Contents
Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi finansial, ada sebuah ironi yang nyata dan sering kita jumpai, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang terjun dan berinvestasi di dunia aset kripto seringkali mendapatkan tatapan sinis, cemoohan, bahkan cacian dari lingkungan sekitar.

Mereka dilabeli sebagai penjudi, penggiat aktivitas haram, penipu, atau bahkan dianggap sebagai kriminal yang seharusnya ditangkap polisi. Pandangan ini begitu kuat hingga menciptakan "aura negatif" yang melekat pada para pegiat kripto, seolah-olah mereka adalah warga kelas dua dalam dunia finansial.


Ini bukan lelucon, melainkan sebuah realita pahit. Tapi, mengapa stigma ini begitu mengakar kuat? Mari kita bedah alasannya satu per satu dengan sederhana.

1. Persepsi Kuat sebagai "Judi Modern"

Ini adalah alasan paling umum. Bagi masyarakat awam, pergerakan harga aset kripto yang bisa naik ribuan persen dalam semalam, lalu anjlok drastis keesokan harinya, lebih mirip meja judi daripada sebuah instrumen investasi.

Volatilitas Ekstrem: Investasi tradisional seperti saham atau emas memang berfluktuasi, namun tidak secepat dan sedalam kripto. Kenaikan dan penurunan harga yang tajam ini menciptakan citra "untung-untungan" atau "spekulasi buta", persis seperti judi.

Fokus pada "Cuan Cepat": Narasi yang sering beredar di media sosial adalah tentang orang yang "mendadak kaya" dari koin micin (istilah untuk koin berisiko tinggi). Fokus pada keuntungan instan ini mengaburkan esensi teknologi di baliknya dan memperkuat anggapan bahwa ini adalah jalan pintas yang penuh risiko, bukan analisis investasi.

Pada dasarnya, banyak yang gagal membedakan antara investor/trader yang melakukan riset dengan spekulan yang hanya ikut-ikutan tren tanpa pengetahuan. Sayangnya, citra yang terakhir lebih menonjol di mata publik.

2. Isu "Haram" dan Pandangan Moral-Religius

Di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia, fatwa dari lembaga keagamaan memiliki pengaruh besar. Beberapa lembaga, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan kripto sebagai mata uang karena dianggap mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maysir (judi), dan tidak memiliki wujud fisik (underlying asset) yang jelas.

Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan beberapa fatwa hanya melarang penggunaannya sebagai mata uang (bukan sebagai aset yang diperdagangkan), label "haram" sudah terlanjur melekat. Bagi sebagian besar masyarakat, stempel ini sudah cukup untuk menutup pintu diskusi dan langsung memberikan penilaian negatif.

3. Maraknya Penipuan dan Skema Ilegal (Scam)

Tidak bisa dipungkiri, dunia kripto adalah "taman bermain" bagi para penipu. Sifatnya yang terdesentralisasi dan seringkali anonim membuatnya menjadi alat yang menarik untuk kejahatan.

Skema Ponzi & Rug Pull: Banyak proyek kripto abal-abal yang menawarkan keuntungan tidak masuk akal, yang pada akhirnya hanya skema Ponzi. Ada juga rug pull, di mana pengembang proyek tiba-tiba kabur membawa semua uang investor.

Berita Negatif: Media massa lebih sering menyorot kasus penipuan bernilai miliaran rupiah daripada kisah sukses penerapan teknologi blockchain untuk kebaikan. Satu berita tentang investasi bodong kripto cukup untuk membuat ribuan orang trauma dan menggeneralisasi bahwa "semua kripto itu penipuan."

Korban yang berjatuhan dari skema-skema ini memperkuat narasi bahwa kripto adalah sarang penipu yang harus dihindari.

4. Asosiasi dengan Dunia Kriminal

Jauh sebelum populer sebagai investasi, Bitcoin (kripto pertama) dikenal sebagai alat transaksi di dark web untuk membeli barang-barang ilegal. Citra ini, meskipun sudah usang, masih membekas di benak sebagian orang.

Selain itu, isu pencucian uang (money laundering) dan pendanaan terorisme yang menggunakan kripto juga sering diangkat. Meskipun volume transaksi ilegal di kripto jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan mata uang konvensional (seperti Dolar AS), label "alat para kriminal" ini lebih mudah diingat dan disebarluaskan.

5. Kesenjangan Pengetahuan dan Komunikasi yang Eksklusif

Inilah akar dari semua masalah di atas. Teknologi blockchain dan kripto itu rumit. Istilah seperti DeFi, NFT, Staking, HODL, WAGMI, terdengar seperti bahasa asing bagi orang awam.

Ketika pegiat kripto berbicara dengan jargon-jargon ini, mereka tanpa sadar menciptakan dinding pemisah. Alih-alih terkesan pintar, mereka justru bisa dianggap sombong dan eksklusif. Orang yang tidak paham akan cenderung merasa terintimidasi atau menganggapnya sebagai omong kosong yang tidak jelas.

Kurangnya edukasi yang sederhana dan merakyat membuat masyarakat umum lebih mudah "menelan" informasi negatif yang lebih simpel, seperti "kripto itu judi" atau "kripto itu penipuan".

Stigma negatif ini adalah tantangan bersama. Di satu sisi, komunitas kripto perlu lebih rendah hati dan proaktif dalam memberikan edukasi. Bukan sekadar memamerkan keuntungan ("pamer cuan"), tetapi menjelaskan teknologi, risiko, dan potensinya dengan bahasa yang membumi. Akui bahwa risikonya nyata dan tidak semua orang cocok untuk berinvestasi di dalamnya.

Di sisi lain, masyarakat umum juga perlu lebih terbuka untuk membedakan antara teknologi, pelaku, dan risikonya. Sama seperti pisau yang bisa digunakan untuk memasak atau melukai, teknologi kripto bersifat netral. Yang menjadi masalah adalah bagaimana orang menggunakannya.

Menghakimi tanpa memahami hanya akan melestarikan kesalahpahaman. Jalan menuju penerimaan yang lebih luas bukanlah melalui cemoohan, melainkan melalui dialog, edukasi yang jujur, dan regulasi yang bijak untuk melindungi semua pihak.


Posting Komentar